Rabu, 15 April 2015

Ulumul hadits" Dalil-dalil kehujjahan hadits"


DALIL-DALIL KEHUJJAHAN HADITS


A.      Hadist  Sebagai Sumber Ajaran Islam
Allah telah menurunkan Islam sebagai penutup agama samawi (langit). Untuk itu, Allah telah menurunkan Rosulullah dengan Al-Qur’an sebagai mu’jizat agung dan sebagai hujjah (dasar) segala kebutuhan. Adapun selain Al-Qur’an, ada dari Rosulullah baik perkataan ataupun perbuatan yang sering kita sebut sebagai hadist yang memberikan penjelasan tentang apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan perincian terhadap isi yang masih global.
Di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat kepada hadits.Namun demikian, hadist juga merupakan wahyu dari Allah SWT. Terkadang hadist juga merupakan hasil ijtihad Rosul yang juga tercermin dari wahyu. Seperti yang terdapat dalam QS.An-Najm :3-4 berikut :


Dalam QS.An-Nisa : 59

B.     Dalil-dalil kehujjahan hadist
Yang dimaksud dengan kehujahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’I (w. 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm.
Menurut ulama ushul fiqh hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi muhammad baik ucapan,perbuatan,maupun ketetapan yang dapat dijadikan dalil hukum shara’. Oleh karena itu produk hadis ditempatkan sebagai sumber hukum islam setelah al-quran. Dalil yang menjelaskan terdapat dalam QS.al-Nisa:80








Persoalan yang kemudian muncul,apakah semua perkataan,perbuatan dan ketetapan Nabi merupakan sumber atau syariah atau bukan.Abd al-Muni’im al-Namr membagi hadist menjadi dua yaitu hadis syariah(hadis yang secara hukum wajib diikuti oleh kaum muslimin) dan hadis non syariah(hadis yang secara hukum tidak mengikat untuk di ikuti oleh kaum muslimin).
Adapun yang termasuk dalam kategori hadis syariah yaitu:
1.      Hadist yang timbul dari nabi dalam posisi dan kedudukannya sebagai al-tabligh yang harus mengkomunikasikan atau menyampaikan risalah islam kepada umat.
2.      Hadist-hadis yang timbul dari nabi dalam kedudukanya sebagai pemimpin kaum muslimin seperti mengutus tentara, pengelola harta negara, mengangkat hakim dan sebagainya.
3.      Hadist yang timbul dari nabi dalam kedudukannya sebagai hakim, yaitu ketika nabi menghukum dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di kalangan umatnya.
Adapun yang termasuk dalam kategori Non hadist syariah yaitu :
1.      Hadist yang berkenaan dengan kebutuhan setiap manusia pada umumnya seperti makan, minum,tidur dan sebagainya.
2.      Hadist yang  yang berkenaan dengan pergaulan dan kebiasaan individu dan masyarakat seperti bercocok tanam, pengobatan, model pakaian dan sebagainya.
3.      Hadist yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat dalam aspek-aspek tertentu, seperti menyebarkan pasukan ke pos-pos tertentu dalam peperangan, mengatur barisan dan sebagainya.
Islam menempatkan hadist setingkat dibawah Al-Qur’an, artinya hadist adalah dasar Tasyri’ (penetapan hukum) sesudah Al-Qur’an yang dikuatkan oleh beberapa dalil.
1.      Dasar Keimanan
Orang yang beriman kepada Allah haruslah beriman kepada ke-Rosulan Muhammad SAW dengan menerima apa yang dia bawa.
Dalam QS.Al-An’am :124 Allah berfirman,
Dan untuk meyakinkan bahwa yang disampaikan Rosulullah berasal dari Allah, ditegaskan kembali QS.An-Nahl : 35,


Setelah tertanam dalam hati tentang kewajban percaya kepada Rosul, dengan jelas Allah memerintahkan agar kita mengikuti apa yang dibawa oleh beliau. Seperti dalam QS.Al-A’raf: 158,

2.      Dasar Al-Qur’an
Kembali kepada Allah nerarti kembali kepada Al-Qur’an dan kembali kepada Rosul-Nya. Ada dua buah ayat mengenai hal iniyakni QS.Al-Hasr: 7

 QS.An-Nisa’ :65,

3.      Dasar Hadist
Banyak  hadist yang menunjukkan kita harus mengikuti apa yang didatangkan Rosulullah :
a)      Hadist  yang diriwayatkan oleh Imam Malik :
“Aku tinggalkan kepadamu dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat yaitu Kitabullah dan Sunatullah”
b)      Hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abi Daud, Ibnu Majah, Tirmizi:
Wajib atas kamu mengikuti sunahku dan sunnah khulafa urrasyidin  yang mendapat petunjuk. Berpeganglah pada sunnah itu dan gigitlah dengan taringmu ( peganglah kuat-kuat ).”
c)      Hadist yang diriwayatkn oleh Abu Daud :
“Ketahuilah bahwa aku diberi kitab dan ada yang serupa dengan Al-Qur’an.”
4.      Dasar Ijma’
Semua umat Islam sepakat untuk mengamalkan Sunah Nabi. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab pernah berjongkok di depan Hajar Aswad seraya berkata :“ Sungguh aku tahu bahwa engkau (hajar aswad) hanyalah sebuah batu, seandainya aku tidak melihat kekasihku (Rasulullah) menciummu dan mensalamimu pasti aku tidak akan mensalamimu dan menciummu.”
Pernah suatu ketika Ibnu Umar ditanya, sebagai mana yang diriwayatkan oleh Musnad Ahmad, kenapa tidak ditemukan tentang ketentuan sholat bagi musyafir dalam Qur’an, lalu beliau menjawab,”Sesungguhnya Allah mengutus Muhammad kepada kitayang sebelumnyakita tak tahu apa-apa. Kita melakukan perbuatan sebagaimana beliau lakukan.”Dalam riwayat lain Ibnu Umar menambahkan,”Kita sebelumnya dalam kesesatan kemudian Allah memberikan petunjuk kepada kita maka dengan petunjuk itulah ita berpegang.”
Perkataan Imam Syafi’i yang diungkap oleh As-Sya’roni dalam muqodimah Al-Mizanul Kubro, semuanya memberi pengertian bahwasegala pendapat Ulama harus kita tinggalkan jika berlawanan dengan suatu hadist yang shohih. Dan kita harus sadar, walaupun Al-qur’an dan Hadist semuanya berasal dari Allah tapi kedudukan keduanya berbeda.




*      Kedudukan Al-Qur’an sebagai dasar Tasyri’ yang pertama dan Hadist sebagai dasar Tasyri’ yang kedua sesudahnya dengan alasan :
No
Al-Qur’an
Hadist
1
Kitabullah, lafazd dan maknanya berasal dari Allah SWT
Walaupun ia juga merupakan wahyu, tetapi perwujudannya oleh Nabi sendiri (manusia)
2
Sebagai hukum dasar
Sebagai pelaksanaannya, menerangkan atau mendatangakan apa yang belum didatangkan Al-Qur’an
3
Diterima dengan jalan Qoth’i, artinya yang diterima memang benar demikian
Diterima dengan jalan Dzonni(sangkaan), keyakinan kita kepada hadist hanya secara global
4

Hadist sendiri  menyatakan bahwa kedudukannya adalah dibawah Al-Qur’an

Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmizi bahwa ketika Nabi mengutus Mu’adz bin Jaba’ untuk menjadi hakim di Yaman beliau bertanya,” dengan apa engkau akan menetapkan hukum?”Muadz menjawab,” Kitabullah”beliau berrtanya lagi,”Jika tak kau dapati?”Mu’adz menjawab,”Sunah Rosulullah”, beliau bertanya lagi,”Kalau disana pun tidak kau dapati?”Mu’adz menjawab,” Aku akan berijtihad dengan akalku.



C.       Keingkaran terhadap Kehujjahan As-Sunah
1.    Pada Masa Muttaqodimin
Sebagaimana yang disebutkan Imam Syafi’i ,ini terjadi di Bashroh,yang merupakan markas kaum Mu’tazilah. Mereka adalah orang-orangyang menentang para ahli hadist. Beberapa alasan mereka adalah sebagia berikut :
a)          Mereka meragukan kebenaran sanad. Hal ini disebabkan adanya perowi yang salah atau ragu bahkan ada yang berdusta dan pembuat hadist palsu.
b)          Mereka beranggapan bahwa Al-Qur’an telah mencakup menjelasan segala sesuatunya dengan cukup. Dalam hal initerjadilah As-sunah bersifat dzonni tsubutnya( samar ketetapan hukumnya), bertentangan dengan Al-Qur’an yang bersifat Qoth’i tsubutnya( sudah pasti ketetapannya).
Ada pula kelompok yang menolak kuhujjahan Sunah, yakni kaum Syi’ah dari kelompok Raflidoh. Karena keyakinan mereka bahwa sesungguhnya kenabian adalah hak Ali r.a, dan jatuh ketangan Muhammad adalah kekeliruan malaikat Jibril menyampaikannya. Untuk menjawab keingkaran yang terjadi perlu disampaikan adalah Ulama tidak asal saja menerima riwayat. Mereka melakukan penyaringan ketat terhadap perowi hadist baik dari segi keadilan maupun ke-dhobithannya.

2.    Pada Masa Mutaakhihirin( dewasa ini )
Diantara tokoh yang menghidupkan kembali persoalan itu adalah Dr.Taufiq Shidqi. Dia menulis pada majalah Al Manar edisi 7 dan 12 dengan judul “Islam huwa Al-Qur’an”. Di dalamnya dipaparkan dasar untuk mengingkari sunah,yaitu :
a.     Firman Allah dalam QS.An-An’am :38 dan QS.An-Nahl :89



Menurutnya kedua ayat tersebut telah mencakup segala sesuatu tentang agama, telah disampaikan hukum bahkan perinciannya. Dia menambahkan, adalah mustahil kalau ada yang tercecer dalam Al-Qur’an sedang Allah menjamin itu tidak akan terjadi.
b.     Allah menjamin keselamatan Al-qur’an sebagaimana yang terdapat Qs. Al-Hijr :9. Seandainya sunah merupakan hujjah dalam islam, pasti difirmankan tentang penjagaan hadist.

c.      Seandainya sunah merupakan Hujjah, tentu nabi akan memerintahkan sahabat untuk menulisnya, dan mereka akan mengumpulkan dan membukukannya. Sebagaiman tersebut QS.Al-Isro’ : 36








Al-An‘am :148









d.     Riwayat dari nabi sendiri bahwa sunah bukalah hujjah dalam islam, sabda nabi :
“Sesungguhnya hadist akan tersebar dariku, maka apabila hadist itu mendatangkan sesuatu yang sesuai dengan Al-Qur’an berarti dia benar dariku, akan tetapi apabila itu membawa sesuatu yang membawa sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an, maka itu bukan dari aku.”
e.      Sesuatu yang baru yang belum pernah disampaikan Al-qur’an, berarti bertentangan dengan Al-Qur’an dan tidak bisa menjadi hujjah. Jika apa yang disampaikan dalam hadist sudah ada dalam Al-qur’an, untuk apa mengambil hadist dan tidak mengambil langsung dari Al-Qur’an.



D.    Jawaban Terhadap Keingkaran Sunah
Terhadap dalil yang disampaikan oleh para pengingkar dipembahasan sebelumnya dapat dierikan jawaban sebagai berikut :
a)      Yang terkandung dalam al-Qur’an itu sifatnya global dan pokok-pokok, hanya sebagian yang diungkapkan secara jelas dan terperinci. Dan bagian penjelasan itulah yang diserahkan kepada Rosulullah melalui hadistnya.
b)      Jaminan Allah untuk menjaga Adz-Dzikr  bukanlah berarti hanya Al-Qur’an tetapi mencakup As-Sunah dan segenap syari’at dan ajaran yang dibawa oleh Rosulullah SAW. Hal ini dapat dibuktikan dalam QS.An-Nahl :43 yang berbunyi :
c)      Semuanya bukanlah bermaksud untuk memalsukan hadist, tetapi menurut Muhammad Abu Zahwin adalah karena ‘uzur yang memaksa atau ijtihad mereka disebabkan ada perubahan dalam masyarakat.
d)     Tidak benar ketika disebutkan para ulama pada abad kedua menilai keshohihan hadist hanya dari segi matannya. Mereka menyaring hadist dan membuat ketentuan dalam prosesnya dari segi matan dan sanadnya.
e)      Tindakan mereka itu adalah tindakan kaum orientalis yang tidaklah benar. Mereka melontarkan tuduhan itu karena terbawa oleh kebencian mereka terhadap islam dan berusaha kuat untuk merobohkan islam.
E.  FungsiHaditsTerhadap Al-Qur’an
            Al-Qur’an dan hadits sebagai pedoman hidup, sumber hokum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadits, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi Al-Qur’an  tersebut.
            Allah SWT menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia, agar Al-Qur’an ini dapat di pahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadits-haditsnya. Oleh karena itu, fungsi hadits Rasul SAW  sebagai penjelas Al-Qur’an tersebut bermacam-macam, yaitu :
1.      Bayan at-Taqrir
            Bayan at-taqrir disebut juga dengan bayan at-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.
2.      Bayan at-Tafsir
            Yang dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadapayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat mujmal memberikan persyaratan atau batasan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat mutlak dan mengkhususkan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, di syariatkannya jual beli, nikah, qishas dan sebagainya.Ayat-ayat Al-Qur’an tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, atau halangan-halangannya. Oleh karenaitu,melalui haditsnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut.
3.      Bayan at-Tasyri’
            Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hokum atau ajaran-ajaran yang tidak di dapati dalam Al-Qur’an, atau dalam Al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja.Hadits Rasul SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li, maupuntaqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hokum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Beliau berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya. Hadist-hadist rasul SAW yang termasuk dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan syuf’ah, hokum merajam pezina wanita yang masih perawan, dan hokum tentang  hak waris bagi seorang anak.
4.      Bayan an-Nasakh
            Dalam bayan jenis ini terjadi perbedaan pendapat  yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadits sebagai nasikh terhadap sebagian hukum Al-Qur’an dan ada juga yang menolaknya.
            Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahakan), dan taghyir (mengubah).Para ulama mengartikan bayan an-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin.Menurut pendapat yang dapat di pegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bias diamalkan lagi, dansyari’ menurunkan ayat tersebut tidak di berlakukan untuk selama-lamanya.
            Jadi, intinya ketentuan yang dating kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hokum harus memenuhi syarat-syaratnya yang ditentukan, teruta masyarat/ketentuan adanya naskh dan mansukh. Pada akhirnya, hadits sebagai ketentuan yang dating kemudian dari pada Al-Qur’an dapat menghapus ketentuan dan isi kandung Al-Qur’an.Demikianmenurutpendapat para ulama yang menganggapadanyabayan an-nasakh. Kelompok yang membolehkan adanya nasakh jenis ini adalah golongan mu’tazilah, hanafiyah, dan madzhab Ibnu Hazm Al-Dhahiri.
            Hanya sajamu’tazilah membatasi fungsi naskhinihanya berlaku untuk hadits-hadits yang mutawatir.Sebab al-kitab itu nasakhnya diriwayatkan secara mutawatir. Sementara golongan hanafiyah yang dikenalagaklonggardalamhalnasakh Al-Qur’an dengan sunnah ini, tidak mensyaratkan haditsnya mutawatir, bahkan hadits masyhur (yang merupakanhaditsahad) pun juga bisa menasakh hukum sebagian ayat      Al-Qur’an. Bahkan Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah ini meskipun dengan hadit sahad. Ibnu Hazm memandang bahwa naskh termasuk bagian bayan Al-Qur’an. Sementara yang menolak naskh jeni sini adalah imam Syafi’i dan sebagian besar pengikutnya. Meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab zhahiriyah dan kelompok khawarij.


2 komentar:

  1. jazakallah khair,,, afwan kang ana mau nanya yang antum tulis ini ada daftar pustakanya nggak soalnya ana butuh ,,,,ana ada tugas tentang ini,,,, tlong ya

    BalasHapus